Membaca Kekuatan Relawan dan Koalisi
Salam Perspektif Baru,
Saat ini saya sudah bersama dengan orang yang akan membedah, melihat, dan memberikan terang untuk kita membaca politik nasional kontemporer. Dia adalah Wasisto Raharjo Jati, Peneliti dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Menurut Wasisto, kekuatan relawan masih sangat signifikan dalam mengangkat suatu figur, dimana kemenangan Jokowi juga didukung para relawan. Saya pikir relawan ini akan tetap signifikan dalam mendukung figur tertentu entah darimana latar belakangnya. Jadi, kecenderungan relawan ini muncul adalah upaya untuk bisa mengangkat suatu figur tanpa harus melalui jalur formal, katakanlah demikian.
Koalisi tiga partai saat ini sebenarnya menjemput bola dari sosok yang dari diangkat oleh relawan itu. Artinya, di sini kecenderungan dari keterpilihan partai-partai yang ada cenderung mengikuti efek ekor jas. Jadi, cenderung mengekor atau mungkin mendapatkan limpahan suara dari sosok yang populer.
Di sini yang perlu kita baca adalah para partai juga mendukung siapa kira-kira calon yang banyak relawannya. Itu karena sebagai bentuk supply and demand dalam politik, dimana ada sosok yang populer, di situlah banyak suara. Itu penting bagi suatu partai untuk bisa menang Pileg dan sekaligus pula mencapreskan figur tertentu.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Budi Adiputro sebagai pewawancara dengan narasumber Wasisto Raharjo Jati.
Apakah politik Indonesia saat ini dalam kondisi yang sehat, atau sedikit demam, atau cenderung ke sakit? Kalau kita lihat paling tidak ada dua peristiwa politik yang paling kontemporer.
Pertama, ada koalisi dini yang dilakukan oleh tiga partai yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Golongan Karya (Golkar), dan juga Partai Amanat Nasional (PAN). Padahal kalau bicara politik kita itu adalah politik Sidang Isbat. Sidang Isbat itu biasanya dilakukan satu hari menjelang lebaran atau satu hari menjelang puasa untuk menentukan apakah puasa atau tidak, lebaran atau tidak.
Kedua, kita tahu kemarin ada Rapat Kerja Nasional Pro Jokowi (Rakernas Projo) yang kemudian kita lihat ada gesture politik yang penting secara elektoral di share oleh Presiden Jokowi. Bagaimana Anda melihat peristiwa-peristiwa politik ini?
Secara general politik kita hari ini memang sudah mengalami peningkatan tensi, dimana masing-masing potensi kandidat yang akan maju di pemilihan umum (Pemilu) 2024 sudah menunjukkan keinginannya untuk bisa berkompetisi di level yang lebih tinggi. Terkait dengan yang sudah kita diskusikan mengenai koalisi, saya pikir koalisi ini sebenarnya adalah upaya untuk menghadapi ketidakpastian dalam politik tentunya.
Kita tahu bahwa di Pemilu 2024 nanti kita akan menghadapi Pemilu serentak, dimana pemilihan legislative (Pileg) dan pemilihan presiden (Pilpres) menjadi satu rangkaian dalam satu hari. Itulah yang menyebabkan terjadi situasi seperti ini. Yang dulunya koalisi itu idealnya dilakukan setelah hasil Pileg ke luar, justru sekarang lebih dini. Itu karena yang kita lihat sekarang ini dengan adanya format Pemilu serentak itu, kecuali PDIP yang sudah bisa dikatakan maju ke depan dalam mencapai target seseorang, partai lain dalam kondisi tertentu.
Di sini koalisi dibentuk sebagai upaya untuk melakukan konsolidasi kepentingan dan juga kekuatan politik. Kalau itu tidak dilakukan secara dini, maka potensi yang akan muncul kemudian adalah partai-partai yang lain akan menjadi semacam kuda hitam yang tentu bisa menyalip koalisi yang entah dipilih sekarang atau besok. Jadi, di sinilah kita melihat koalisi ini adalah jawaban atas ketidakpastian dalam menghadapi Pemilu 2024.
Seberapa besar masyarakat mempunyai asa tentang koalisi dini ini dalam kesehatan demokrasi, atau jangan-jangan ini koalisi yang akan masuk angin juga karena ujung-ujungnya game changing nya nanti akan di ujung garis finish saja?
Dalam demokrasi itu yang namanya koalisi tentunya hadir kalau ideologi antar partai kuat. Itu nanti akan berpengaruh pada karakter pemilih itu sendiri yaitu pemilih yang sifatnya ideologi sepolah. Dalam konteks Indonesia yang kita tahu ideologinya itu serba abu-abu. Inilah yang berdampak pada referensi pemilih kita, dimana pemilih kita itu belum tentu tahu apa itu koalisi, apa itu kontestasi dan sebagainya.
Artinya di sini kalau dibandingkan dengan segmen pemilih ideologi atau loyalis partai, segmen terbesar dari pemilih kita masih pemilih yang sifatnya undecided voter atau pemilih yang masih mengambang pilihannya. Mengapa demikian? Karena memang pemilik kita itu lebih didorong kecenderungannya terhadap satu isu atau suatu figur tertentu. Jadinya alih-alih akan tahu koalisi, yang akan akan muncul di benak para pemilih adalah siapa sosok yang akan diangkat.
Menurut saya, inilah yang menjadi semacam gap ketika kita melihat adanya keinginan koalisi yang dilakukan oleh para elit, sementara segmen pemilih tertentu atau yang mayoritas belum tentu tahu apa itu koalisi. Ini menjadi menarik untuk kita bicarakan lebih lanjut.
Jadi, ini koalisi yang mempunyai tiket tapi belum mempunyai tokoh. Kita lihat dulu dalam dua kali pemilu yaitu pada 2019 yang sudah jelas karena ada incumbent. Namun, pada 2014 kalau kita bisa sebut rezim opini publik atau rezim survei yang kemudian memberikan endorse atau tekanan kepada pemilik tiket untuk memberikan tiket kepada seorang yang namanya Jokowi. Orang yang dianggap sebagai pendatang yang tidak terlalu lama di politik nasional kita.
Dengan koalisi tiga partai ini banyak yang menganggap bahwa sekarang mungkin bagi partai-partai politik enough is enough. Kita akan memberikan tiket kepada orang-orang kita, meskipun secara elektabilitas atau secara survei tidak begitu cukup populer atau ada di papan atas, tapi pemegang tiket adalah kita.
Bagaimana Anda melihat pertarungan antara rezim tiket dengan rezim elektabilitas? Ini karena beberapa atau ada tiga besar seperti Ganjar Pranowo belum tentu mempunyai tiket, Anis Baswedan apalagi karena tidak mempunyai partai sendiri. Yang paling memungkinkan untuk membungkus partai tentu adalah Prabowo Subianto.
Yang perlu kita ketahui kalau kita ingin mencapreskan suatu figur harus melewati presiden secara threshold, yang mana itu memang harus membutuhkan partai. Kita juga harus lolos electoral threshold, yang mana 25% suara nasional dan 20% suara DPR. Artinya memang partai itu adalah kunci dalam mencapreskan individu.
Kembali ke pertanyaan rezim tiket dan elektabilitas, yang perlu kita garis bawahi di sini adalah yang namanya popularitas itu belum tentu terkonversi menjadi elektabilitas. Ini menjadi poin penting karena yang kita lihat sekarang ini elektabilitas itu adalah faktor yang mana bisa berubah setiap saat. Artinya, misalnya ada suatu blunder politik atau chaos, popularitas yang ada sebelumnya tinggi maka bisa jadi turun drastis.
Di sinilah kita perlu melihat atau mungkin perlu berhati-hati ketika kita membaca popularitas suatu figur. Uji kontinuitas suatu figur itu akan terlihat manakala yang bersangkutan sudah tidak lagi menjabat sebagai pejabat publik. Itu penting karena di situlah kemudian dia akan kehilangan sosok sorotan media, akan kehilangan popularitas, akan kehilangan akses terhadap kebijakan.
Di situlah kemudian popularitas itu diuji. Apakah memang figur-figur yang populer sebelumnya itu ketika sudah tidak menjabat secara politik itu akan tetap tinggi popularitasnya. Itu nanti akan terkonversi elektabilitasnya.
Kalau rezim tiket memang kita harus akui bahwa Prabowo masih menjadi kandidat yang sangat potensial untuk bisa dicapreskan. Yang perlu kita sadari adalah rezim tiket ini tentu perlu juga dukungan dari kelompok lain karena di Indonesia sendiri yang saya tangkap belum pernah ada pemerintahan yang sifatnya dikuasai satu kubu. Biasanya mereka akan ke kubu lain untuk bisa bergabung.
Ini adalah sesuatu yang sangat unik dan biasa karena memang kita perlu keseimbangan politik. Di sinilah kemudian terjadi namanya ketemu kepentingan antara rezim tiket dan rezim popularitas, dimana masing-masing kubu ini saling berpotensi membangun yang namanya mutualisme ketika yang satu membutuhkan kendaraan, dan yang satunya membutuhkan dukungan populer atau populis dari tokoh lainnya.
Ini penting juga. Jadi, akan tercipta equilibrium antara kebutuhan supply and demand, yang satu mempunyai tiket. Yang mempunyai tiket juga harus mendengarkan suara rakyat kalau ingin menang melalui survei. Pihak survei juga harus punya kemampuan membungkus partai kalau dia ingin mempunyai tiket karena joget-joget saja tanpa tiket ini juga tidak akan bisa apa-apa.
Yang penting dan juga menjadi simbiosis mutualisme atau menjadi game changer, kemarin ada semacam gestur politik dari Presiden Jokowi. Ini mungkin gestur elektoral yang paling kental meskipun belum secara pasti menyebutkan siapa, tapi ini gestur elektoral yang pertama, mungkin kalau bisa dibilang pasca pandemi, dikeluarkan oleh Jokowi menjelang 2024.
Bagaimana Anda melihat Jokowi dalam peta pertarungan 2024, terutama basisnya setelah Rakernas Projo dengan gestur politik yang Jokowi keluarkan?
Membaca gestur presiden memang itu menimbulkan interpretasi simbolik karena di situlah kemudian kita bisa melihat siapa kira-kira sosok ideal yang menjadi suksesor Presiden Jokowi hari ini. Pertemuan di Rakernas Projo itu sebenarnya adalah upaya untuk bisa istilahnya dia ingin setidaknya memberikan pilihan bagi para relawannya dulu untuk bisa menentukan pilihan yang lain ketika sudah tidak menjabat.
Ini penting karena yang namanya relawan itu memang perlu mendukung satu figur tertentu setelah yang kemarin sudah tidak lagi bisa menjabat. Kemudian bola itu ada di tangan Jokowi sekarang karena yang namanya endorsement dari dia yang notabene masih dianggap sebagai tokoh yang sangat popular. Itu penting untuk bisa menambah popularitas maupun elektabilitas dari calon yang didukung. Di sinilah kemudian gestur itu menjadi semacam dukungan simbolik.
Bagaimana kita membaca kekuatan endorsement karena kalau kita berkaca, menjelang 2014 ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memilih untuk ada di pinggir lapangan menonton pertandingan ini berlangsung, tanpa ikut campur sedikitpun, ketika pemerintahannya dianggap semakin akhir semakin turun. Akhirnya endorsement SBY jadi kurang laku.
Apa yang coba untuk diperbaiki atau dilakukan oleh Presiden Jokowi berkaca dari pengalaman-pengalaman sebelumnya?
Kalau saya lihat sebenarnya Jokowi juga berkepentingan agar program-program yang telah dijalankan oleh dia tetap berjalan di periode selanjutnya. Kunci poinnya di situ. Kalau kita belajar dari pemerintah sebelumnya banyak proyek yang tidak dilanjutkan di pemerintahan yang baru.
Saya pikir yang namanya endorsement itu penting untuk kita memastikan bahwa peninggalan-peningalan Jokowi tidak hanya selesai di satu atau dua periode saja, tapi juga dilanjutkan oleh periode selanjutnya. Itu karena yang sudah menjadi semacam pola pakem adalah ganti presiden maka ganti kebijakan juga.
Di sinilah endorsement itu penting kepada calon yang dituju atau figur tertetu supaya legacy politik Jokowi tetap ada di pemerintahan selanjutnya. Kalau tidak dilanjutkan, maka ini akan menjadi semacam wanprestasi terhadap kebijakan mekanisme yang sekarang. Dimana yang sudah baik sekarang tidak dilanjutkan. Di sinilah endorsement itu penting bagi figur tertentu, atau calon yang kiranya dianggap layak bisa menyamai dia atau mungkin lebih.
Ini bukan hanya endorsement untuk keterpilihan, tetapi juga bagaimana sahih endorsement presiden ini untuk menggiring calon yang diusung mendapat tiket juga. Itu karena Jokowi bukan pemegang bolpoin untuk tiket. Ada kemungkinan juga kalau melihat gestur kemarin, mungkin saja calon yang didukung Jokowi dan relawannya belum tentu juga menjadi pilihan dari Megawati sebagai rumah besarnya Jokowi.
Bagaimana menurut Anda, dan bagaimana endorsement ini bisa merangsang calon mendapatkan tiket karena mempunyai problematika sendiri?
Yang saya baca endorsement itu adalah cara instan untuk bisa mendapatkan popularitas secara cepat di level Jakarta. Kalau kita berkaca pada kasus atau mungkin ketika Jokowi naik juga banyak didukung oleh elit, yang mana sekarang menjadi pembantu beliau di pemerintahan.
Saya pikir di sini meskipun Jokowi tidak mempunyai kuasa untuk bisa memberikan tiket tertentu pada calon, paling tidak dengan endorsement dia terhadap suatu figur tertentu atau mungkin yang lain, itu istilahnya referensi dia, bisa menjadi semacam pola atau mungkin semacam surat sakti bagi partai untuk bisa mendukung yang bersangkutan.
Kita harus akui bahwa referensi atau surat sakti itu memang menjadi semacam bukti pengakuan bahwa figur atau calon yang didukung seperti itu layak untuk bisa memimpin Indonesia.
Bagaimana permainannya nanti ke depan. Seperti apa petanya kalau Anda bisa memberikan gambarannya kepada kita pasca dua peristiwa politik yang menurut saya cukup signifikan yaitu endorsement dan gestur Jokowi kemarin dengan koalisi tiga partai? Apa yang bisa kita lihat secara garis besar ke depan?
Kalau yang saya lihat memang kekuatan relawan masih sangat signifikan dalam mengangkat suatu figur, dimana kemenangan Jokowi juga didukung para relawan. Saya pikir relawan ini akan tetap signifikan dalam mendukung figur tertentu entah darimana latar belakangnya. Jadi, kecenderungan relawan ini muncul adalah upaya untuk bisa mengangkat suatu figur tanpa harus melalui jalur formal, katakanlah demikian.
Koalisi ini sebenarnya menjemput bola dari sosok yang dari diangkat oleh relawan itu. Artinya, di sini kecenderungan dari keterpilihan partai-partai yang ada cenderung mengikuti efek ekor jas. Jadi, cenderung mengekor atau mungkin mendapatkan limpahan suara dari sosok yang populer.
Di sini yang perlu kita baca adalah para partai juga mendukung siapa kira-kira calon yang banyak relawannya. Itu karena sebagai bentuk supply and demand dalam politik, dimana ada sosok yang populer, di situlah banyak suara. Itu penting bagi suatu partai untuk bisa menang Pileg dan sekaligus pula mencapreskan figur tertentu.
Di sinilah kita melihat adanya suatu keseimbangan kepentingan antara sosok yang didukung dari akar rumput dengan suara yang cukup besar dengan partai yang punya kewenangan otoritas dalam mencapreskan melalui jalur formal. Saya rasa demikian.