Sadari Bahaya UU KUHP

Salam Perspektif Baru,

Hari ini kita membicarakan hadiah yang baru diterima oleh rakyat Indonesia yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Saya akan membahas ini bersama Asfinawati, lawyer dan sekarang menjadi salah satu pengajar di STH Indonesia Jentera.

Asfinawati mengingatkan kepada masyarakat bahwa kita masih punya waktu tiga tahun untuk mempelajari KUHP, dan menyadari bahwa banyak pasal-pasal yang berbahaya. Begitu dia diberlakukan, kita tidak bisa mengatakan bahwa tidak tahu pasal ini, otomatis itu akan terkena kepada kita dan sudah terlambat saat itu.  

Menurut Asfinawati, sekarang sedang ada perang narasi, ada yang mengatakan ini baik dan macam-macam. Tapi percayalah banyak hal-hal yang aneh di dalamnya, termasuk sekarang KUHP memasukkan sebuah pasal dalam undang-undang bendera dan lain-lain, yaitu kalau Ibu dan Bapak nanti saat  17-an ingin mengibarkan bendera dan ternyata kusut atau kusam, maka itu bisa terkena denda maksimal Rp 10 juta.

Dia tidak habis pikir pasal-pasal seperti ini bisa dimasukkan di dalam KUHP. Sebetulnya politik hukum kita ingin kemana? Siapa rakyat yang ingin kita bela? Karena itu sudah jelas sekali bahwa tidak ada yang bisa membela hak kita kecuali kita sendiri. Kita harus mempelajari dan sama-sama menyuarakan pasal-pasal berbahaya di dalam KUHP, agar ini bisa diubah sebelum berlaku tiga tahun lagi.

Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Inaya Wahid sebagai pewawancara dengan narasumber Asfinawati.

Banyak orang mengatakan UU tentang KUHP adalah sebuah hadiah karena kita menjadi semakin jelas ada undang-undang yang bukan lagi produk kolonial. Tapi, apakah benar ini adalah hadiah untuk rakyat Indonesia atau jangan-jangan justru kebalikannya? Bagaimana menurut Asfin, mengapa bermasalah atau banyak sekali dikomplain oleh orang-orang?

Saya berpikirnya ini adalah hadiah yang buruk di akhir tahun, meskipun katanya masih tiga tahun lagi. Tapi artinya, dalam tiga tahun kita akan hidup dalam kecemasan sambil mengira-ngira nasib kita seperti apa tiga tahun lagi.

 

Mengapa banyak sekali yang mengatakan bahwa ini adalah hadiah yang buruk, dan sayangnya juga ini tidak bisa ditukar seperti hadiah lain yang bisa dikembalikan. Mengapa juga ini dikatakan akan banyak berdampak dan yang terkena dampaknya salah satunya adalah kelompok-kelompok minoritas, termasuk minoritas gender seperti perempuan? Apakah bisa dijelaskan bagian mananya yang kemudian menjadikan ini adalah hadiah yang buruk?

Sebetulanya banyak, ada beberapa, tapi saya mulai yang pertama adalah pemerintah mengatakan ini tadinya kita memakai punya kolonial dan ini menjadi dekolonisasi buatan bangsa sendiri. Tapi, kalau kita mengatakan kenapa ada pasal yang jelek? Mereka akan mengatakan itu sudah ada di KUHP yang lama, itu satu keanehan. Artinya, kalau ada yang jelek mereka selalu mengatakan sudah ada di yang lama. Kalau sudah ada di yang lama terus apa yang baru? 

Namun, ada yang sangat baru dan itu sangat mencemaskan, yaitu Pasal 2 tentang hukum yang hidup di masyarakat. Kesannya itu baik, pemerintah mengakomodir hukum yang hidup dalam masyarakat. Tetapi karena itu buruk, setahu saya Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) juga menolak.

Semua orang tahu bahwa di seluruh dunia berlaku kalau hukum pidana hanya bisa berlaku yang tertulis. Kalau kita melakukan sesuatu, misalnya, kita main judi tanggal 1 Mei 2022, tetapi KUHP yang melarang main judi baru ada Desember 2022, maka kita tidak terkena hukuman. Jadi, artinya kita hanya bisa terkena pidana yang hukumnya sudah tertulis. 

Sekarang di KUHP yang baru buatan bangsa sendiri, ada kata-kata bahwa aturan itu disimpangi, tidak menghilangkan bahwa pidana juga bisa karena hukum yang hidup di masyarakat.

Pertanyaannya, hukum yang hidup di masyarakat yang seperti apa? Apakah yang tidak ada di dalam KUHP? Artinya, jadi luas sekali. Apa itu? Tidak tahu, kalau saya digelitikin, dipukul, saya tidak bisa jawab karena belum ada. Nanti dia akan ditentukan melalui peraturan daerah. Memang katanya peraturan daerahnya harus mengikuti peraturan pemerintah.

Tetapi, Komnas Perempuan sudah mengatakan ada lebih dari empat ratusan peraturan daerah (Perda) yang diskriminatif dan tidak sesuai dengan undang-undang dasar, tidak bisa diapa-apain juga kalau daerah sudah menetapkan. 

Jadi, hukum yang hidup di masyarakat itu macam-macam. Misalnya, di beberapa tempat ada yang namanya tidak boleh berdua-duaan dengan orang yang bukan muhrim di dalam ruangan tertutup. Apakah kita berzina? Tidak, yang dilarang hanya berdua-duaan saja. Karena itu banyak kasus-kasus yang tidak suka dilaporin, digerebek, padahal dia tidak ngapa-ngapain, malu dan lain-lain.

Perda berlakunya di daerah tertentu. Jadi, misalnya Perda di Sulawesi, maka hanya berlaku di situ. Kalau dulu kita ingin tahu, kita bisa kena pidana apa? Kita tinggal baca satu kitab yaitu Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tapi sekarang membaca KUHP saja tidak cukup karena nanti ada Perda-Perda yang mengancam kita. 

Kalau kita ingin berwisata atau liburan ke suatu daerah, kita harus cek dulu di situ ada Perda apa. Jangan-jangan di sana ada aturan-aturan yang tidak ada di KUHP yang memberikan sanksi pidana. Tentu saja perda-perda diskriminatif itu macam-macam melarangnya, seperti dulu ada di Tangerang orang yang patut diduga pelacur atau bersikap seperti pelacur. Apa itu?

Waktu itu banyak sekali kita dengar berita saat dia pulang malam karena shift malam, membawa lipstik, kemudian ditangkap Satpol PP karena dianggap dia pelacur atau patut diduga sebagai pelacur. Padahal semua perempuan kalau dirazia siang-siang juga pasti ada lipstik di tasnya, kecuali saya. Jadi saya sendiri yang lolos kalau itu ukurannya. Ini akan sangat mengerikan.

Menurut saya, sebenarnya yang paling mengerikan adalah Pasal 2 itu karena kita tidak tahu apa yang akan ada di dalamnya dan itu akan berbeda-beda setiap daerah.

 

Jadi, ini hukum tapi dipakai dengan perasaan kira-kira ini akan seperti apa, nanti terlihat seperti apa. Siapa yang membuatnya?

Betul, yang membuat peraturan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Dari pemantauan Komnas Perempuan terbukti ada ratusan Perda yang diskriminatif. Sekarang mereka diberi kekuatan yang lebih. Kalau dulu hanya Perda, sekarang statusnya menjadi bagian dari hukum pidana nasional, tapi yang berlaku di daerah tertentu. Itu ngeri sekali.

Menurut saya, sebetulnya kita tidak ada lagi kesatuan hukum bahwa di Aceh, di Ambon, di Papua kita mempunya satu hukum pidana. Itu sekarang tidak ada. Mana itu negara kesatuan? Tidak ada. Pasti nanti pemerintah akan mengatakan bahwa ada batas-batasnya mengatur di peraturan pemerintah. Saya ingin mengatakan bahwa membuat Perda batas-batasnya ada di undang-undang bahwa Perda harus begini, tidak boleh begitu. Itu diatur dalam undang-undang pemerintahan daerah, dan lain-lain. Apakah itu diikuti? Tidak diikuti. Bisa dilakukan apa? Tidak bisa dilakukan apa-apa juga, kecuali masyarakat yang harus mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Agung.

 

Tadi Asfinawati mengatakan banyak yang bicara bahwa ini salah satu upaya dekolonisasi, ini punya bangsa sendiri, dan ada banyak yang kemudian mengatakan, “Kalau kamu tidak setuju dengan KUHP, berarti  kamu pengikut hidup bebas.” Bahkan saya sudah beberapa kali mendengar kata-kata, “Kalian itu tidak bermoral.” 

 

Mengapa bisa seperti ini? Apakah benar orang-orang yang tidak setuju dengan KUHP ini adalah orang-orang yang tidak bermoral, dan mendukung misalnya kebebasan yang tidak ada batasnya? Mengapa Asfinawati dan teman-teman menolak?

Sebetulnya, ini akan mencelakakan semua orang. Kita ambil pasal yang paling keras mengenai moral, yaitu zina. Dulu perzinahan itu disebutnya adultery. Sebenarnya, dia menyebutnya bukan perzinahan dalam kacamata yang umum, tetapi kemudian menjadi fornication yaitu hubungan seksual konsensual antara orang yang belum menikah pun menjadi pidana kalau dilaporkan oleh anaknya atau orang tuanya.

Tetapi, di luar mengenai delik aduan itu, pertanyaannya adalah apa yang disebut tidak menikah itu? Kita tahu bahwa ada banyak masyarakat adat yang pernikahannya itu tidak dianggap sah. Kalaupun sekarang aturannya sudah ada, mungkin mereka sudah terlalu jauh untuk melaksanakan administrasi negara.

Kedua, ada yang lebih rumit lagi, di luar saya tidak mendukung poligami, ada orang-orang di Indonesia yang berpoligami tidak sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Di Undang-undang perkawainan itu sangat jelas bahwa undang-undang kita itu monogami tertutup, ada yang sudah mengajukan Judicial Review dan ditolak.

Poligami itu boleh kalau ada alasan seperti isteri cacat badan, sakit, dan lain-lain. Tidak cukup itu, dia harus mengajukan izin ke pengadilan, harus diizinkan dan dicatatkan. Artinya, orang-orang yang berpoligami tidak sesuai dengan aturan negara itu akan dianggap tidak kawin alias berzina. Apakah kita ingin mereka dipidana? Kalau saya tidak ingin.

Itu karena bagaimanapun saya tidak setuju dengan poligami, mereka berpoligami sesuai dengan keyakinan agamanya dan itu hak mereka. Itu akibatnya kalau kita main moralitas di dalam aturan negara. Nanti kalau kita ingin main moral-moralan, akan ada yang mengatakan, “Di keyakinan saya bahkan kalau sudah kawin satu kali, maka itu tidak boleh kawin untuk yang kedua, apapun alasannya. Itu lebih bermoral.”

Itu bahayanya. Karena itu sebetulnya ada suatu pertanyaan mendasar di hukum pidana. Apakah semua perbuatan yang tidak baik harus dipidana? Saya ambil satu contoh satu supaya kita sedikit paham, kita tidak boleh durhaka kepada orang tua, di agama manapun durhaka kepada orang tua pasti sangat dibenci. Apakah berarti durhaka kepada orang tua harus masuk di hukum pidana karena itu salah satu perbuatan yang paling dibenci oleh Tuhan?

Ada satu agama yang keyakinannya berdecak kepada orang tua saja itu sudah durhaka. Berarti dilarang berdecak kepada orang tua. Barang siapa berdecak kepada orang tua akan terkena pidana durhaka dengan penjara atau denda. Itu tidak masuk akal. Jadi, tidak semua perbuatan yang buruk, kita anggap buruk, kalaupun dianggap buruk itu harus diselesaikan dengan pidana. Itu persoalan mendasarnya. 

Kenapa perzinahan tidak? Karena aturan moralitas mengenai apa itu disebut perizinan bisa berbeda-beda antara keyakinan satu dengan keyakinan lain, antara masyarakat adat satu dengan masyarakat adat lain, bahkan bisa berbeda antara umat beragama dengan negara.

 

Itu mungkin perlu kita sadari bahwa masyarakat Indonesia begitu beragam dan ada banyak yang kemudian tidak mempunyai akses untuk ke pernikahan secara hukum.

Betul, secara formal negara itu.

 

Apakah ini berarti kalau undang-undang ini kemudian muncul, akan ada banyak kelompok-kelompok yang terkena imbasnya?

Betul, karena yang disebut bermoral atau tidak itu dalam setiap tradisi berbeda. Kita menganggap diri kita sudah sangat bermoral, ternyata kita baru tahu dari keyakinan lain itu tidak bermoral. Misalnya, mempunyai istri lebih dari satu. Itu ada yang menganggapnya tidak bermoral, padahal menurut kita bermoral, dan itu sah saja di negara demokrasi yang negara  tidak boleh mencampuri itu dan memegang palu pemutus untuk beragam moralitas itu.

Apalagi kita tidak tahu siapa yang sebenarnya nanti berhak untuk mengatakan siapa yang bermoral dan siapa yang tidak. Apakah berarti harus ada badan khusus pemutus moralitas negara yang kemudian dia yang mempunyai wewenang?

Sekarang sudah ada. Yang menjadi wewenang pemutus ada di Perda. Apa-apa yang tadinya menurut adat tidak bermoral, dia bisa masuk menjadi hukum pidana nantinya.

 

Apakah itu berarti di setiap daerah juga berpotensi berbeda-beda ukurannya, dan itu yang akan semakin membingungkan.

Betul.

 

Ini sudah terjadi, sudah dikeluarkan meskipun sebenarnya mendapatkan penolakan, meskipun sebenarnya ada banyak pasal-pasal yang kemudian perlu diperjelas dan banyak sekali mungkin yang tidak berdasarkan data atau situasi dan kondisi lapangan di Indonesia.

 

Apa yang sebenarnya kita sebagai masyarakat bisa lakukan nanti tiga tahun lagi menghadapi KUHP ini?

Kita harus menyebarluaskan tentang pasal-pasal di KUHP yang mencemaskan. Tentu saja ada yang baik, tapi saya selalu mengatakan ini bukan buah di dalam keranjang. Kalau buah dalam keranjang ada yang busuk, kita tinggal buang dan tidak perlu kita makan. 

Kalau KUHP ada yang baik dan ada yang busuk semua harus kita telan, tidak bisa kita pilih. Karena itu kita masih tiga tahun, sebetulnya kita perlu melakukan sosialisasi ini sampai ke masyarakat adat, Ibu-ibu dan Bapak-bapak di pasar, petani dan lain-lain, sehingga mereka juga menyadari bahaya KUHP dan sama-sama datang kepada DPR dan pemerintah agar diubah pasal-pasal yang bermasalah itu. Juga kalau nanti di ujung-ujung tiga tahun kita ingin judicial review bisa saja, tapi jangan dekat-dekat waktu ini, nanti saja. Sementara kita melakukan sosialisasi dulu.

Saya juga ingin menyampaikan satu pasal lagi yang nantinya orang akan takut atau tidak kalau mendengarnya. Pasalnya mengatakan, setiap orang yang menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan, padahal patut diduga bahwa berita atau pemberitahuan tersebut adalah bohong. 

Pertanyaannya, dia patut diduga, sedangkan banyak orang yang tidak tahu. Banyak orang yang terima sesuatu di medsos dan dia pikir itu kebenaran, dia sebarkan, dia tidak mempunyai niat jahat. Tapi perbuatan sudah terjadi, dan penyidik dalam bayangan saya akan dengan mudah mengatakan, “Masa Bapak atau Ibu tidak tahu bahwa ini bohong? Ini sudah ketahuan kalau bohong.” 

Artinya, setiap orang itu punya pandangan yang berbeda itu bohong atau tidak. Dan kemudian ada kata-kata yang dapat mengakibatkan kerusuhan. Seharusnya orang dipidana bukan karena dapat, tapi karena dia memang berniat untuk mengakibatkan kerusuhan dan ini kerusuhannya belum terjadi, baru dapat.

Jadi, ini banyak sekali pasal-pasal yang seperti ini yang sangat kabur sebenarnya untuk orang pidana, dan saya heran mengapa bisa ada pasal-pasal ini. Termasuk juga kalau kita melakukan aksi spontan dan mengakibatkan gangguan ketertiban seperti macet, itu juga bisa terkena pidana.

 

Jadi, misalnya Citayam Fashion Week kemarin sebenarnya bisa saja terkena pidana kalau dengan kata-kata seperti itu.

Bisa, karena ada pawai. Jadi, semuanya ada dalam KUHP.

 

Sebenarnya hukum ini hebat juga karena mampu mendeteksi niat orang. Seperti patut diduga, berarti mereka sudah tahu apa yang ada di dalam kepala kita atau dalam hati kita. 

 

Apa yang ingin Asfin sampaikan sebagai penutup terutama untuk masyarakat Indonesia atau mungkin juga para pembuat kebijakan yang mendengar pembicaraan kita hari ini?

Saya mungkin akan bicara kepada masyarakat saja karena kalau para pembuat undang-undang sudah sering mengobrol. Tapi mau tidak mau atau mau mengaku atau tidak, para guru besar atau pembuat Undang-undang itu privilege, mereka dihormati, penegak hukum kenal mereka, mereka tidak pernah tahu itu pungli, dan lain-lain.

Jadi, saya ingin berbicara pada masyarakat saja bahwa kita masih punya waktu tiga tahun untuk mempelajari KUHP dan menyadari bahwa banyak pasal-pasal yang berbahaya. Begitu dia diberlakukan, kita tidak bisa mengatakan bahwa tidak tahu pasal ini, otomatis itu akan terkena kepada kita dan sudah terlambat saat itu.  

Saya tahu sekarang sedang ada perang narasi, ada yang mengatakan ini baik dan macam-macam seperti yang tadi disebutkan oleh Inaya. Tapi percayalah banyak hal-hal yang aneh di dalamnya termasuk sekarang KUHP memasukkan sebuah pasal dalam undang-undang bendera dan lain-lain yaitu kalau Ibu dan Bapak nanti saat 17-an ingin mengibarkan bendera dan ternyata kusut atau kusam, maka itu bisa terkena denda maksimal Rp 10 juta.

Saya tidak habis pikir pasal-pasal seperti ini bisa dimasukkan di dalam KUHP. Sebetulnya politik hukum kita ingin kemana? Siapa rakyat yang ingin kita bela? Karena itu sudah jelas sekali bahwa tidak ada yang bisa membela hak kita kecuali kita sendiri. Kita harus mempelajari dan sama-sama menyuarakan pasal-pasal berbahaya di dalam KUHP, agar ini bisa diubah sebelum berlaku tiga tahun lagi.

Previous
Previous

Next
Next