Reforma Agraria Harus Diperbaiki
Salam Perspektif Baru,
Salah satu program prioritas pembangunan dari pemerintahan Presiden Joko Widodo sejak periode pertama hingga periode kedua adalah Reforma Agraria. Hingga saat ini salah satu daerah yang menyambut baik dan bersungguh-sungguh melaksanakan Reforma Agraria adalah Kabupaten Sigi di Sulawesi Tengah. Kita bahas topik Reforma Agraria bersama Eva Bande, aktivis agraria yang meraih penghargaan Yap Thiam Hien Award (YTHA) pada 2018, dan juga terlibat aktif dalam reforma agraria di Sigi karena menjabat sebagai Sekretaris Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten Sigi.
Eva Bande mengatakan metode inventarisasi dan verifikasi (Inver) tanah dalam Reforma Agraria harus diperbaiki. Metode sampling itu tidak tepat karena kita sedang memastikkan hak konstitusi rakyat. Ketika ditanya, mengapa Anda tidak bisa melakukan pengecekan semua secara lapangan atau desa, itu ternyata anggarannya tidak ada, tidak cukup. Anggaran dan urusan metode itulah yang kemudian bahwa mengaburkan hak konstitusi rakyat.
Problem kita yang lain adalah kawasan hutan di dalam Perpres Reforma Agraria tidak mengatur kawasan konservasi. Sementara, spesifik Sigi sebagai suatu daerah kabupaten di Indonesia adalah kabupaten yang unik. Kabupaten yang dipenuhi dan didominasi oleh kawasan hutan, kabupaten yang topografinya pegunungan, mereka hidup di situ lama, ada juga taman nasional, dan mereka lebih lama dari ditetapkannya itu sebagai taman nasional.
Kalau dia tidak menjadi objek, maka ini juga menghilangkan hak konstitusi rayat karena mereka tidak masuk dalam objek Inver. Jadi, kawasan konservasi tidak dalam objek Inver untuk kepentingan TORA.
Berikut wawancara Perspektif Baru yang dilakukan Hayat Mansur sebagai pewawancara dengan narasumber Eva Bande.
Reforma Agraria adalah pintu masuk yang strategis untuk memastikan hak-hak warga negara terhadap hak-hak dasar, terutama berkaitan dengan sumber penghidupan seperti tanah dan sumber agraria terkait lainnya. Mengapa Kabupaten Sigi melakukan reformasi Agraria?
Pertama-tama, saya sampaikan terima kasih kepada teman-teman Perspektif Baru. Ini adalah salah satu media yang terus-menerus memantau Kabupaten Sigi dari sejak periode pertama. Saya kira ini penting sekali untuk terus disampaikan kepada publik kondisinya dan keadaan-keadaannya.
Kabupaten Sigi menseriusi dengan sungguh-sungguh program ini karena memang terkait dari pola ruang Kabupaten Sigi itu sempit dalam keadaan dimana masyarakat tidak terpastikan haknya. Dari pola ruang Kabupaten Sigi itu 75% dalam kawasan hutan, sisanya baru area penggunaan lain.
Artinya, masyarakat kita yang hidup bertani dan seterusnya itu adalah masih di dalam klaim hutan negara. Jadi, bisa dipastikan program pemerintah dan termasuk mencatatkan luasan pertanian itu tidak masuk, termasuk intervensi pada soal infrastruktur dan sebagainya. Saya kira itu langkah tepat yang telah diambil oleh pemerintah Kabupaten Sigi.
Sejak awal Bupati Sigi juga ikut serta dan Bang Hayat pun saya kira mengikutinya karena pernah berkunjung ke sini. Dari awal Kabupaten Sigi ini sudah memasukkan Reforma Agraria dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), tapi sekarang baru kemudian pemerintah pusat sadar bahwa itu penting untuk dimasukkan dalam RPJMD.
Bagaimana akan direalisasikan kalau uangnya tidak ada? Kemudian programnya, bagaimana bisa menjadi serius dan prioritas, kalau tidak dimasukkan dalam dokumen daerahnya. Sigi itu dari jauh hari sudah memasukkan ke dalam RPJMD, tapi baru disadari sekarang. Kebetulan saya tadi mengikuti satu diskusi publik mengenai draft Peraturan Presiden (Perpres) tentang Percepatan Reformasi Agraria.
Apa saja program Reforma Agraria yang dilakukan di Kabupaten Sigi?
Di Sigi ini karena wilayah dan pola ruangnya dengan komposisi kawasan hutan lebih luas, maka dalam konteks reforma agraria Kabupaten Sigi yang pertama adalah memastikan tanah-tanah masyarakat, menegaskan garapan atau kebun-kebun masyarakat yang berada dalam klaim hutan negara itu diidentifikasi, diusulkan, dan harus diberikan dan diakui oleh negara kepada masyarakat yang lebih dahulu hidup dan berkembang di wilayah-wilayah itu.
Sigi ini unik, kabupaten yang memang topografinya pegunungan, mereka hidup di lembah-lembah, hidup di kemiringan-kemiringan tertentu yaitu 40 - 50 derajat yang memang mereka kondisi topografinya demikian. Menegaskan hak-hak masyarakat yang ada di dalam kawasan hutan yang istilahnya oleh negara adalah mendorong Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dalam kawasan hutan. Kemudian ada juga hutan adat.
Kabupaten Sigi telah melaksanakan Reformasi Agraria sejak 2016, dan salah satu programnya adalah mendistribusikan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). Berapa TORA yang telah didistibusikan oleh negara untuk masyarakat guna meningkatkan kesejahteraan sejak 2016?
Kita bisa melihat apakah sebenarnya pemerintah bersungguh-sungguh atau tidak dalam konteks ini dari hasil yang telah dicapai oleh Kabupaten Sigi yang sudah sedemikian rupanya mendorong. Bukan hanya sekadar mendorong saja, tapi juga memasukkannya ke dalam RPJMD, membuat programnya, melaksanakannya dari level bawah hingga level kabupaten.
Saya ingin menyampaikan update, misalnya, untuk usulan TORA dari dalam kawasan hutan seluas 67.651 hektar. Realisasi yang disetujui oleh menteri ada dua. Satu, melalui surat menteri LHK nomor S739 Tahun 2020 tentang persetujuan pola Penyelesaian Tanah dalam Kawasan Hutan (PTKH) seluas 3.031,3 hektar dari 67.651.
Kedua, melalui satu skema yang namanya revisi tata ruang SK menteri LHK Nomor 52 tahun 2020 tentang revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulteng disebutkan 5.548,32. Tapi 5.000 itu adalah sudah keseluruhan dengan 3.000 yang saya sebutkan tadi. Jadi, totalnya 5.548 Ha. Artinya, ada kontribusi dari revisi tata ruang 2.517. Realisasi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dalam kawasan hutan kita hanya 8,2%.
Itu berarti sangat kecil sekali dari rencana atau dari target 67.651 hektar yang terdistribusikan dalam TORA, atau yang disetujui oleh negara hanya 5.548 hektar. Padahal ini sudah berlangsung di Sigi sejak 2016 atau total 6 tahun, itu sangat kecil sekali. Apa faktor yang menjadikan Reforma Agraria di Sigi berjalan lambat?
Pertama, yang saya soroti terkait dengan bagaimana sebenarnya ketika proses inventarisasi dan verifikasi yang dilakukan oleh unit teknis dari KLHK yaitu Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH). Jadi, kalau di provinsi ada namanya Tim inventarisasi dan verifikasi (inver) Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PTKH) yang diketuai oleh Gubernur, ditanggung jawab oleh Gubernur. Ketua Hariannya adalah Kepala Dinas Kehutanan (Kadishut) dan anggota-anggotanya adalah dinas-dinas atau unit-unit teknis dari LHK yaitu BPKH.
Ini kami temukan, ketika proses tim Inver melakukan verifikasi lapangan, titik mana yang telah kami usulkan. Kemudian fatalnya, itu tidak semua karena yang mengajukan kami adalah basisnya desa. Mereka melakukan Inver tidak berbasis desa. Itu yang pertama.
Kedua, mereka melakukan sampling, ini menjadi problem. Ini sedang memastikan hak konstitusi rakyat. Kemudian yang kami tidak temukan dengan baik oleh tim Inver PTKH adalah seharusnya sejarah penguasaan masyarakat atas tanah itu menjadi hal paling penting dalam menentukan. Jadi, tidak hanya teknis bahwa tanah di kemiringan 40 - 60 derajat tidak boleh. Ini soal hak konstitusi rakyat.
Menurut kami, ini kegagalan kalau kemudian target-target yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dipastikan tidak akan tercapai kalau cara bekerjanya demikian. Itu baru dari hal teknis.
Dari satu temuan hal teknis tersebut telah menyebabkan upaya Reforma Agraria yang dilakukan menjadi berjalan lambat. Apa solusi atau input Anda agar Reforma Agraria, baik di Kabupaten Sigi maupun secara nasional bisa berjalan lebih cepat lagi?
Pertama, kalau dari saya adalah metodenya harus diperiksa dan diperbaiki. Kemudian metode sampling itu tidak tepat karena kita sedang memastikkan hak konstitusi rakyat. Kedua, kita juga sedang berhadapan dengan satu hal teknis mengenai anggaran. Ketika ditanya, mengapa Anda tidak bisa melakukan pengecekan semua secara lapangan atau desa, itu ternyata anggarannya tidak ada, tidak cukup. Anggaran dan urusan metode itulah yang kemudian saya katakan bahwa mengaburkan hak konstitusi rakyat, sehingga hasilnya ada 8,2%. Jadi, untuk ke depannya yang harus diperbaiki adalah mengenai tim reforma agraria nasional memastikan, memantau dengan baik dan benar mengenai metode yang akan dilakukan oleh tim Inver PTKH, jika proses TORA dalam kawasan hutan diajukan oleh pemerintah daerah.
Kemudian yang paling penting dari ini adalah kalau seperti ini pengajuannya oleh pemerintah Kabupaten, ada subjek dan ada objek maka kalau ada anggapan-anggapan bahwa ada penumpang gelap, itu tidak akan terjadi karena ini by name, by address, ada objek dan ada subjeknya. Jadi, tidak mengarang dan sejarah penguasaan tanahnya benar dan diperiksa karena itu harus menjadi hal pokok yang harus dikedepankan sejarahnya karena itu asal usul.
Berikutnya mengenai metode, kalau ini dilakukan dengan benar maka kecurigaan-kecurigaan terhadap penumpang-penumpang gelap yang memanfaatkan ini untuk kepentingan-kepentingan bisnis itu tidak akan terjadi, jika benar ini dilaksanakan. Jadi, tidak hanya bersandar pada peta indikatif yang dikeluarkan oleh Menteri LHK yang berpolygon - polygon itu, yang ketika diperiksa juga ternyata tidak bertuan. Itu yang bahaya kalau kemudian dimanfaaatkan oleh Pemerintah Daerah yang punya niatan jahat.
Jadi, kami memang memastikan bahwa Sigi memberikan contoh yang baik kepada Indonesia mengenai bagaimana bekerjanya partisipatif. Rakyat yang menunjukkan bahwa ini punya kami di dalam sini yaitu di hutan negara, tidak berdasarkan hanya peta yang dibuat di atas meja kemudian diajukan.
Problem kita yang lain adalah kawasan hutan di dalam Perpres Reforma Agraria tidak mengatur kawasan konservasi. Sementara, spesifik Sigi sebagai suatu daerah kabupaten di Indonesia adalah kabupaten yang unik. Kabupaten yang dipenuhi dan didominasi oleh kawasan hutan, kabupaten yang topografinya pegunungan, mereka hidup di situ lama, ada juga taman nasional, dan mereka lebih lama dari ditetapkannya itu sebagai taman nasional.
Kalau dia tidak menjadi objek, maka saya mengatakan bahwa ini juga menghilangkan hak konstitusi rayat karena mereka tidak masuk dalam objek Inver. Jadi, kawasan konservasi tidak dalam objek Inver untuk kepentingan TORA.
Apakah hambatan-hambatan tersebut atau kendala-kendala tersebut tidak bisa diatasi oleh Gugus Tugas Reforma Agraria?
Terkait dengan Inver, itu bukan di Gugus Tugas Reforma Agraria. Itu tim yang lain yang berbeda, yang ada kedudukannya di provinsi, yang penanggung jawabnya adalah Gubernur. Ketuanya adalah Kepala Dinas Kehutanan. Jadi, dia tim yang berbeda dari Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA).
GTRA akan mengirimkan dokumen permohonan itu. Misalnya, ada 200 desa, ini subjeknya, ini sejarahnya, kemudian mereka akan periksa. Itu kira-kira pemeriksaannya berjenjang. Memang pemeriksaan berjenjangnya ini juga menjadi penghambat. Kenapa dia tidak diletakkan saja di GTRA, kenapa harus berjenjang seperti ini.
Sekarang ini GTRA sudah tidak bicara hanya di luar kawasan hutan, tetapi di dalam kawasan hutan juga. Jadi, seharusnya tidak ada lagi tim yang lain, seharusnya kedudukannya sudah ada di dalam GTRA, sehingga GTRA lebih cepat bekerjanya memastikan dengan syarat-syarat yang telah ditentukan melalui regulasi yang memang ada di dalam rezim kehutanan. Ditambah memang kita punya teman di kehutanan ini masih di kemiringan, bentang alam, kadang-kadang hal-hal seperti itu mempersulit sebuah proses untuk pengakuan hak konstitusi rakyat.
Guna mempermudah proses, apakah perlu ada Badan Nasional Reforma Agraria untuk program ini bisa berjalan lebih cepat ke depannya?
Kita akan bicara soal konflik agraria yang sekarang juga sangat kuat. Sejak dulu saya sebagai aktivis agraria mengusulkan kepada presiden agar ada satu badan, unit, atau apapun namanya, di bawah presiden langsung, yang dipimpin oleh presiden langsung.
Mengapa harus dipimpin presiden? Karena ini berkaitan dengan konflik yang lintas sektor, tidak bisa penyelesaian konflik ini diletakkan di Menko atau di satu Kementerian, menteri dengan menteri memanggil, itu bagaimana maksudnya. Jadi, itu harus presiden yang memimpinnya dengan ada unit langsung di bawah presiden khusus penyelesaian konflik karena itu antar lintas Kementerian.
Terkait memastikan tanah-tanah masyarakat di dalam kawasan hutan yang sudah digarap, itu harus diperbaiki, dipangkas metodenya, dan sebagainya. Kalau untuk yang di luar kawasan hutan, misalnya HGU Habis, HGU terlantar, semestinya ini harus dipercepat oleh pemerintah daerah memohon wilayah ini untuk menjadi Tanah Obyek Reforma Agararia. Tapi memang satu lagi syaratnya, yaitu harus memiliki bupati yang mempunyai etika baik, niat yang baik untuk kepentingan masyarakat. Tugas GTRA adalah di situ, memastikan ini betul-betul bagi petani penggarap, petani yang tidak memiliki tanah.
Salah satu upaya pelaksanaan reforma agraria adalah untuk mengatasi dan menyelesaikan konflik-konflik agraria. Dengan pelaksanaan reforma agraria di Kabupaten Sigi, apakah jumlah konflik agraria di sana berkurang, tetap, atau malah meningkat?
Kalau dalam konteks Sigi sebenarnya relatif lebih tertangani, konflik antara rakyat dengan negara diselesaikan dengan cara ini. Tapi memang akan timbul satu masalah baru karena tidak semua yang diusulkan itu disetujui oleh menteri, sehingga lagi-lagi bupati mengarahkan agar GTRA membuat usulan baru lagi dengan mengambil data-data yang lama, kemudian di-combine dengan peta indikatif baru yang dikeluarkan menteri lagi karena kalau tidak, maka itu akan menjadi konflik baru. “Mengapa kami tidak? Kami sama statusnya dengan yang ini.”
Hal ini akan menjadi problem ketika tidak diselesaikan. Jadi, mau tidak mau kita juga harus menyelesaikannya. Itu karena memang mekanismenya diatur begini, harus diusulkan, maka GTRA harus bekerja lagi untuk melakukan identifikasi baru, dan itu bukan main-main dengan topografi Sigi, dan dibutuhkan sumber daya, logistik yang cukup untuk bekerja di seperti ini.
Reforma Agraria ini untuk memastikan hak warga negara terhadap hak paling dasar yang berkaitan dengan sumber penghidupan, seperti tanah. Hak warga negara yang terlibat ini adalah salah satunya perempuan. Apakah pelaksanaan reforma agraria di Sigi melibatkan perempuan juga dan apa arti pentingnya?
Perempuan adalah aktor paling penting di dalam posisi ini karena kita tahu perempuanlah yang selama ini menata, menjaga, menanam, dan seterusnya terkait memelihara tanah itu. Sebagai komitmen pemerintah, Pemerintah Kabupaten Sigi baru-baru ini mengeluarkan Satu Edaran Bupati terkait dengan bagaimana melaksanakan atau memperlakukan Tanah Objek Reforma Agraria di Kabupaten Sigi.
Di dalamnya, poin yang paling terang dan jelas yang disampaikan adalah bahwa tanah-tanah obyek reforma agraria ini diprioritaskan kepada perempuan. Ini sebagai komitmen pemerintah karena kalau hanya sekadar mengatakan ingin begini, wacana-wacana saja, kalau tidak ada komitmen di dalam bentuk regulasi, itu juga sedikit sulit.
Kemudian menyampaikan bahwa tanah-tanah objek reforma agraria dalam hal subyek diprioritaskan dan diharapkan paling minimal 30% perempuan. Itu juga harus menjadi hal-hal yang penting yang harus selalu disampaikan oleh pemangku kepentingan, para pemerintah. Itu akan menjadi informasi yang baik bagi masyarakat.
Saya kira memang selama ini sebagai aktivitas agraria juga mendorong perempuan, itu menjadi peran paling penting. Perempuan yang selama ini kita dorong berpartisipasi karena kita tahu mereka memiliki sejarah memelihara tanah itu. Jadi, jika memang ada kekhawatiran bahwa tanah itu dijual dan lain sebagainya kita berharap peran perempuan dan perempuan sebagai subjek penerima tanah objek reforma agraria ini diharapkan itu tidak terjadi.
Yang lain adalah mendorong cara penguasaannya secara bersama. Sigi sedang mengembangkan itu di salah satu objek yang bekas HGU PT Hasfarm. Jadi, ada lokasi yang telah dimohonkan oleh Pemerintah Kabupaten Sigi kepada Menteri ATR seluas 160 hektar yang dimintakan kepada menteri, dan telah disetujui dalam bentuk pertanian bersama yang 30% nya adalah perempuan.