Musim Semi Energi Terbarukan
Oleh: Hayat Mansur*
Di negara subtropis yang memiliki empat musim, kuntum daun dan bunga di cabang pohon mulai tumbuh pada musim semi. Juga tunas tanaman bermunculan dari dalam tanah. Suasana tersebut memunculkan sebuah harapan, rasanya hidup kembali setelah mengalami musim dingin yang cukup panjang.
Suasana semacam itu terjadi pada sektor energi terbarukan di dalam negeri. Perayaan Hari Listrik Nasional 27 Oktober tahun ini menjadi momentum bahwa energi terbarukan mulai memasuki musim semi yang menumbuhkan harapan untuk pengembangan dan pemanfaatannya lebih besar.
Sebelumnya energi terbarukan bak berada di musim dingin yang membuat sektor ini sulit tumbuh berkembang. Padahal Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat besar mencapai sekitar 417 gigawatt (417.000 megawatt). Tiga sumber terbesar adalah tenaga surya 207 GW, air 75 GW, dan angin 60 GW. Sedangkan total pemanfaatannya baru sekitar 12 GW (3%).
Hingga kini Indonesia masih memiliki ketergantungan yang besar terhadap energi fosil, yaitu minyak bumi, batu bara, dan gas. Porsi penggunaan energi fosil mencapai 80% lebih dalam bauran energi primer nasional. Sedangkan pemanfaatan energi terbarukan baru mencapai sekitar 12%.
Penggunaan energi fosil yang menghasilkan banyak emisi karbon di seluruh dunia telah menjadi salah satu pemicu perubahan iklim. Karena itu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan negara-negara untuk segera beralih ke energi terbarukan yang nirkarbon sebagai upaya mitigasi perubahan iklim dari sektor energi.
Kebijakan Hijau
Salah satu faktor yang berpengaruh untuk pengembangan energi terbarukan adalah kebijakan politik. Selama ini kita masih kurang kebijakan hijau yang membuat semua terutama sektor swasta untuk memiliki insentif mengembangkan energi terbarukan, yang dikenal juga sebagai energi bersih.
Kini mulai muncul harapan pemanfaatan energi terbarukan bisa tumbuh pesat. Kehadiran beberapa regulasi baru membuat sektor energi seperti menyongsong musim semi.
Pemerintah telah mengeluarkan tiga kebijakan hijau sebagai wujud menuju pembangunan rendah karbon, termasuk di sektor energi. Pertama, terbit Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 Tahun 2021 untuk mendorong pengembangan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS atap di Indonesia. Saat ini capaian pemanfaatan PLTS hanya mencapai 0,1% dari total potensi yang ada.
Kedua, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui adanya pajak karbon. Pada tahap awal, pemerintah akan mengenakan pajak karbon ke sektor Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Kemudian secara bertahap sektor lain yang banyak menghasilkan emisi karbon akan terkena pajak karbon juga.
Kehadiran pajak karbon dapat menjadi insentif untuk mendorong pertumbuhan energi terbarukan karena dana yang didapat dapat dialokasikan untuk menjadi investasi pengembangan energi terbarukan.
Di sisi lain, ini juga dapat menjadi daya tarik bagi investor dan industri untuk beralih ke energi terbarukan. Jika mereka tetap di sektor energi fosil maka harus keluar uang untuk membayar pajak. Sebaliknya, jika memakai energi terbarukan maka bisa mendapatkan uang dari perdagangan karbon.
Ketiga, pemerintah telah mengesahkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2021 – 2030 yang lebih hijau dibandingkan RUPTL sebelumnya. Porsi energi terbarukan dalam RUPTL terbaru jauh lebih besar, angkanya menjadi 51,6%.
Ke depan, sedikitnya ada dua regulasi hijau lagi yang akan segera keluar. Saat ini pemerintah juga sedang memfinalisasi Peraturan Presiden tentang Nilai Ekonomi Karbon. Selain itu, pemerintah dan DPR sedang membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru dan Terbarukan.
Peningkatan porsi energi terbarukan sangat penting untuk pengurangan emisi karbon, selain ketahanan dan kemandirian energi. Pembangkit listrik dari energi terbarukan mampu mengurangi emisi karbon sangat signifikan. Misalnya, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru berkapasitas 510 MW di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara diatur untuk berkontribusi pada pengurangan emisi karbon sekitar 1,6 juta ton per tahun atau setara dengan kemampuan 12 juta pohon menyerap karbon.
Bahkan pemerintah menargetkan untuk kapasitas terpasang PLTS hingga hingga 2030 mencapai 5.342 mega watt (MW) yang akan dapat mengurangi emisi karbon sampai dengan delapan juta ton.
Dukungan Publik
Kehadiran kebijakan - kebijakan hijau tersebut menumbuhkan harapan besar terwujudnya transformasi dari energi fosil ke energi terbarukan yang nirkarbon. Namun hal tersebut harus mendapat dukungan semua pihak karena pemerintah tidak dapat melakukan upaya tersebut sendiri.
Kebijakan hijau untuk mengurangi emisi karbon terutama melalui sektor energi merupakan perspektif (cara pandang) baru mengenai upaya kita melihat ekonomi, lingkungan, dan pilihan bagaimana meningkatkan kesejahteraan rakyat. Jadi ini adalah cara pandang masa depan, lebih dari sekadar pendapatan pemerintah. Tapi menjadi perspektif baru untuk melindungi rakyat di masa depan terutama dari perubahan iklim.
Adanya dukungan publik juga penting untuk mengatasi berbagai potensi dampak negatif dari tranformasi energi. Dalam hal ini pemerintah harus berkomunikasi dengan semua pihak sehubungan manfaat dan konsekuensi yang bakal dihadapi terkait dengan kebijakan hijau tersebut.
Jadi harus ada penyebaran informasi, dialog sosial, dan edukasi publik agar semua pihak mendukung penuh mengenai kebijakan hijau untuk mengurangi emisi karbon, termasuk dekarbonisasi sektor energi. Komunikasi publik ini ibarat pupuk agar energi terbarukan di Tanah Air makin tumbuh subur di musim semi.
Keberhasilan kita mengembangkan energi terbarukan berarti kemenangan untuk masa depan Indonesia yang lebih sejahtera melalui pembangunan rendah karbon.
*Praktisi Komunikasi Hijau dan Ketua Yayasan Perspektif Baru