
Arif Zulkifli
Kebebasan Berekspresi Jangan Dicederai
Edisi 1230 | 06 Nov 2019 | Cetak Artikel Ini
Hari
ini kita membicarakan mengenai hal yang sangat penting dalam kehidupan kita
sehari-hari, yaitu hak kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kita membicarakan
topik ini dengan seorang yang telah lama berkecimpung di dunia pers, yaitu Arif
Zulkifli yang kini menjabat sebagai Pemimpin Redaksi majalah berita
mingguan Tempo. Dia juga Anggota Dewan Pers periode 2019 - 2022.
Menurut Arif Zulkifli, saat ini ada bahaya yang mengancam
kebebasan kita semua yang sekarang sedang dipertaruhkan berupa Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Di dalamnya ada pasal-pasal yang bersifat
pasal karet, misalnya, pasal penghinaan terhadap kepala negara dan sebagainya.
Misalnya, jika pasal penghinaan terhadap kepala negara
berlaku maka akan ada dua aturan, yaitu di dalam UU Pers dan dan KUHP. Bisa
saja seseorang melaporkan media massa dengan menggunakan pasal ini dan
kepolisian punya sebuah perangkat yaitu KUHP untuk ‘memberangus’ kebebasan,
untuk memenjarakan wartawan, atau untuk menutup sebuah media karena dianggap
melanggar dari pasal-pasal yang ada di KUHP yang baru itu.
Menurut Arif, itu sudah pasti akan berdampak pada kualitas
pemberitaan. Wartawan akan berpikir berpuluh-puluh kali untuk dia menulis
sesuatu. Dia tidak lagi bekerja berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik, tapi
dia juga akan bekerja berdasarkan kecemasan bahwa dia akan terkena pada dampak
berdasarkan UU itu.
Beberapa waktu
lalu dan masih terasa hingga kini, perhatian publik tertuju kepada rencana
pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang salah
satunya memuat mengenai ketentuan-ketentuan kebebasan berekspresi termasuk di
dalamnya kebebasan pers. Bagaimana Anda melihat mengenai rancangan
KUHP ini?
Saya kira ada
bahaya yang mengancam kebebasan kita semua yang sekarang sedang dipertaruhkan.
Namun dengan tekanan begitu keras dari publik, akhirnya pemerintah dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) menunda pembahasan tentang Rancangan KUHP.
Apa dampaknya
kalau memang itu sampai disahkan?
Menurut saya, yang
paling penting adalah adanya pasal-pasal yang bersifat pasal karet, misalnya,
pasal penghinaan terhadap kepala negara dan sebagainya. Itu sangat mengancam
karena bertentangan dengan prinsip-prinsip reformasi yang diwujudkan dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Di dalam UU No.40/1999
sangat jelas sekali bahwa media diberi hak penuh untuk mengungkap segala
sesuatu yang menyangkut kepentingan publik dalam memenuhi hak publik untuk
tahu, ‘the right to know’ dari masyarakatnya. Apa yang berhak diketahui
oleh publik? Apapun yang menyangkut kepentingan masyarakat luas. Yang tidak
termasuk kepentingan masyarakat luas misalnya gosip, hal-hal yang sifatnya
pribadi atau bersifat privasi. Itu tidak termasuk tapi hal-hal yang di luar itu
harus.
Misalnya, jika
pasal penghinaan terhadap kepala negara berlaku maka akan ada dua aturan, yaitu
di dalam UU Pers dan dan KUHP. Bisa saja seseorang melaporkan media massa
dengan menggunakan pasal ini dan kepolisian punya sebuah perangkat yaitu KUHP
untuk ‘memberangus’ kebebasan, untuk memenjarakan wartawan, atau untuk menutup
sebuah media karena dianggap melanggar dari pasal-pasal yang ada di KUHP yang
baru itu.
Jika pasal-pasal
di KUHP yang baru itu jadi disahkan, apakah itu akan berdampak kepada kualitas
pemberitaan?
Sudah pasti akan
berdampak. Wartawan akan berpikir berpuluh-puluh kali untuk dia menulis sesuatu.
Dia tidak lagi bekerja berdasarkan prinsip-prinsip jurnalistik, tapi dia juga
akan bekerja berdasarkan kecemasan bahwa dia akan terkena pada dampak berdasarkan
UU itu.
Prinsip dasar kerja
jurnalistik itu seperti ini, media punya kemungkinan untuk salah tapi juga
media punya kesempatan untuk tidak salah. Jadi yang penting adalah pembuktian,
dan pembuktian oleh media bukanlah pembuktian berdasarkan ukuran-ukuran hukum,
tapi pembuktian berdasarkan ukuran-ukuran jurnalistik. Itu dua hal yang
berbeda.
Bila hal ini
dipakai dengan UU yang pasal karet seperti tadi, maka bisa saja sebuah liputan
itu benar secara jurnalistik atau memenuhi kaidah-kaidah jurnalistik, tapi
kemudian dikatakan bahwa dia tidak memenuhi kaidah-kaidah hukum. Itu berbahaya
sekali. Misalkan, saya menulis bahwa seseorang terlibat dalam sebuah pembunuhan,
lalu media menulis berdasarkan kerja jurnalistiknya banwa diduga yang membunuh
adalah X. Kemudian masalah ini masuk ke dalam pengadilan dan di pengadilan
ditemukan bahwa yang membunuh bukan X tapi Y, misalnya begitu.
Dengan
Undang-Undang Pers, media tidak bisa disalahkan. Yang penting media menjalankan
tugasnya berdasarkan standar kerja jurnalistik, yaitu apakah informasi tersebut
dicek kebenarannya, apakah cover both
side, apakah ada cek & ricek, dan apakah ada konfirmasi. Jika itu semua
sudah dijalankan dan di ujung itu dia mengatakan bahwa diduga pelakunya adalah
X, maka setelah pengadilan mengatakan yang membunuh adalah Y maka dia tidak
bisa dihukum. Yang bisa dimintakan kepada media adalah mengoreksi
pemberitaannya, bayangkan kalau proses ini kemudian ditumbangkan oleh KUHP
dengan mengatakan bahwa berita yang kemarin itu adalah berita bohong.
Saat ini dengan adanya pasal-pasal karet atau
multitafsir dalam Rancangan Undang-Undang
tentang KUHP yang bisa mengancam kebebasan
pers, apakah pasal itu hanya mengancam pers saja? Apakah bisa juga mengancam
publik dalam mengekspresikan pendapatnya?
Sebenarnya ancaman
terhadap kebebasan berekspresi bagi publik sudah dimulai dengan dikeluarkannya
UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Menurut saya, itu sudah banyak korbannya sebetulnya. Ketika seseorang menyampaikan suatu
informasi tertentu maka dia bisa dihukum dengan UU
ITE.
Itu juga terjadi kepada media massa, tapi dalam hal ini Dewan Pers berjuang keras. Dewan Pers
adalah sebuah dewan yang dibentuk atas amanat reformasi, dan amanat UU No.40/1999 untuk melindungi kebebasan pers namun bukan untuk membela pers.
Jadi bukan persnya yang
dibela tapi kebebasannya. Artinya, kalau pers menjalankan tugasnya itu tidak sesuai dengan kode etik maka dia bisa disalahkan. Dia tidak disalahkan
sebagai kriminal tetapi dia harus minta maaf, dia harus meralat, dan sebagainya. Inilah yang tidak terjadi kepada kebebasan berpendapat
di luar pers. Misalnya, kita membuat status Facebook, lalu disalahkan atau digugat, maka kita tidak akan bisa ke
Dewan Pers karena itu bukan domainnya Dewan Pers.
Jadi saya mau katakan
bahwa di di level Undang-Undang ITE itu kebebasan sudah menemukan ancamannya,
tapi memang di situ tentu saja ada dilema. Maksudnya ada dilema adalah sekarang
di era sosial media seperti sekarang ini orang menjadi sangat bebas termasuk
adalah bebas untuk menyampaikan informasi-informasi seperti tadi yang
dibicarakan, hoaks dan berita bohong itu terjadi dalam 5-10 tahun terakhir di
mana sosial media itu menemukan pasarnya begitu.
Nah inilah yang dipakai
oleh para pembela UU ITE yang mengatakan bahwa kita
tetap perlu supaya orang-orang yang mengacau di
sosial media (Sosmed) itu bisa diluruskan. Namun apakah itu efektif? Kalau dilihat prakteknya dalam lima tahun terakhir kita tahu bahwa banyak sekali orang ditindak, orang
ditangkap karena postingan-postingan tertentu, tapi efeknya juga tidak
terlalu banyak. Artinya, hoaks dan fake news itu tetap
ada.
Bagaimana dengan kebebasan pers di media mainstream? Ambil contoh kasus adalah
mengenai covernya Koran Tempo yang digugat bahwa itu menghina
kepala negara. Dalam hal ini apakah adanya tuntutan tersebut sudah merupakan
suatu ancaman kebebasan pers?
Sebelumnya saya minta
maaf karena saya tidak bisa terlalu banyak masuk ke isu cover Majalah Tempo
karena saya Conflict of Interest. Di Dewan Pers saya adalah ketua komisi pengaduan dan etik, tapi saya tidak dilibatkan dalam pembahasan kasus cover Majalah
Tempo yang Pinokio. Kami dipersoalkan oleh satu lembaga
yang mengatasnamakan kelompok pendukung Jokowi, dan itu sedang dalam
proses sekarang ini.
Saya memang tidak bisa
masuk di situ, tapi yang saya mau katakan kalau
diabstraksi sedikit adalah bila Rancangan UU KUHP itu nanti disahkan, maka menurut saya akan terjadi penurunan kualitas
dari kritik-kritik terhadap kepala negara, kritik terhadap pemerintah karena
jelas sekali ancamannya di dalam
Rancangan UU KUHP yang baru.
Jadi mungkin orang atau
media akan berpikir puluhan kali untuk menulis atau untuk membuat kartun dan
sebagainya, padahal itu adalah ciri dari
reformasi, ciri dari kehidupan yang demokratis seperti itu, terbuka bahkan
dengan kritik yang keras. Buat saya sebetulnya kritik itu kalau dasarnya ada
sebetulnya tidak ada yang perlu ditakutkan dan UU pers menjamin sekali
bahwa kritik seperti itu diizinkan, yang penting ada argumentasinya.
Misalnya, ketika suatu media mengatakan kritik A, maka apa dasarnya? Dia harus punya dasar. Bila seseorang tidak
punya dasar maka bisa dipersoalkan ke Dewan Pers, dan di Dewan Pers saya sebagai Ketua Komisi Etik akan mempersoalkan apa argumentasi orang itu?
Saya mau kasih contoh yang sudah diputuskan, jadi ada sebuah tulisan di
salah satu media yang mengkritik dari seorang sutradara, saya tidak akan sebut
namanya tapi saya bayangkan sudah pada tahu yang di klaim atau mengklaim, bahwa karya dia sudah banyak di luar negeri dan sebaganya dan media
mengkritik itu.
Kritiknya tidak ada
persoalan betapapun barangkali orang menilai atau si pengadu menilai bahwa ini
kesannya sangat sepihak atau tidak berdasarkan bukti. Namuni ketika itu disampaikan sebagai
opini di media, waktu itu adalah media opini
atau bukan
berita, maka dia tidak bisa dipakai dan
dikenakan dalam dirinya kewajiban-kewajiban berita yaitu cover both side. Jadi dia boleh berpendapat. Waktu itu keputusan kita adalah “Anda tidak salah dengan
kritik Anda, tapi Anda harus memuat tulisan lain yang mengimbangi” dalam hal ini adalah
tulisan dari si pengadu.
Apakah mungkin dengan adanya KUHP yang memuat
pasal-pasal karet atau multitafsir itu akan
membuat profesi sebagai kritikus atau
komentator akan hilang?
Mungkin tidak langsung
hilang juga, tapi menurut saya akan terjadi
penurunan yang luar biasa. Jadi orang itu akan
dihantui oleh ketakutan.
Bagaimana dampaknya bagi Indonesia?
Bila orang tidak berani mengkritik, maka
pemerintah
akan jalan tanpa kritik. Kita lihat dari sekarang saja komposisi antara yang
koalisi dan oposisi sudah sangat tidak seimbang.
Sekarang
ini oposisi tinggal berapa partai saja, siapa yang akan
mengkritik jalannya pemerintahan? Pemerintah yang bergerak berdasarkan
keinginan untuk mengkonsolidasikan sebanyak mungkin partai sehingga berkurang
kritik, berarti mereka itu mengasumsikan
bahwa potensi dia dalam mengambil keputusan atau kebijakan itu sedikit
salahnya.
Jadi sekarang mindset
nya kacau bila pemerintah berpikir bahwa koalisi ini dibangun sebesar
mungkin supaya nanti lancar pembangunan. Itu mengasumsikan bahwa
pasti kebijakan itu benar. Padahal tidak bisa begitu cara memandangnya, selalu
ada potensi untuk salah dan siapa yang meluruskan itu? Jawabannya adalah
kritik, baik itu di dalam pemerintahan, atau legislatif, atau di dalam masyarakat. Itu pentingnya kritik melalui media massa.
Bagaimana Anda
melihat mengenai kebebasan pers di Indonesia selama reformasi ini, apakah
tindak kekerasan terhadap wartawan masih terus terjadi?
Kebebasan sebetulnya secara umum tentu saja sangat baik
dibandingkan sebelum 1998, itu sudah pasti. Namun pertanyaannya adalah bebas
untuk apa, dan bebas dengan cara apa, itu yang mesti dirumuskan. Tentu saja
bebas untuk dia berperan di dalam dinamika masyarakat, pembangunan, dan
sebagainya. Bebas untuk mencapai itu,
bebas dengan cara apa, ya bebas dengan cara dia menjalankan tugasnya tapi tetap
dengan menghitung dan memperhatikan rambu-rambu.
Kalau dalam dunia jurnalistik, dasarnya jelas sekali yaitu
kode etik. UU No.40/1999 isinya kode etik. Kode etik itu bisa diturunkan dengan
berbagai macam cara dan berbagai macam turunan. Apakah wartawan sudah
menjalankan itu semua? Saya harus katakan belum. Di situlah Dewan Pers
menjalankan perannya. Dewan Pers memberi tahu bagaimana tata cara penulisan
berita yang baik agar terhindar dari pidana, jadi terus dibangun. Kalau
diperhatikan, mediasi di dalam Dewan Pers itu sebetulnya isinya edukasi.
Selain tindak
pidana, apakah ada juga yang menjadi korban tindak kekerasan?
Iya, terutama di daerah. Di Bali kita pernah menemukannya dan
di Papua juga. Jadi polanya memang selalu sama, yaitu untuk ‘on the spotlight’ yaitu di Jakarta dan pusat-pusat
kota, wartawan relatif punya kebebasan yang besar karena dia muncul di dalam
dunia yang terang. Tapi semakin jauh dari pusat, seperti di Papua dan di mana-mana
biasanya semakin kecil. Ini memang kemudian menjadi anomali ketika terjadi
kerusuhan kemarin pada 21 - 22 Mei sampai yang September, sehingga analisanya
berubah lagi bahwa kekerasan bisa juga terjadi di pusat.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) saya kira sudah
mengeluarkan statement yang sangat keras mengenai kekerasan aparat dalam
demonstrasi yang kemarin. Tapi saya kira itu tentu harus dipersoalkan, tapi itu
adalah sebuah pengecualian-pengecualian. Secara keseluruhan, sebenarnya kalau
kita bicara tentang Jakarta dan Jawa barangkali sangat baik, namun mungkin yang
harus jadi perhatian adalah di daerah-daerah.
Apakah secara
keseluruhan Indonesia termasuk negara yang memiliki kebebasan pers yang lebih baik
dibanding negara-negara lain?
Ada beberapa catatan atas kebebasan pers kita. Terakhir
adalah kasus yang di Kalimantan, dimana ada seorang wartawan ditangkap oleh
polisi lalu kemudian meninggal di dalam tahanan. Itu adalah sebuah catatan yang
memperburuk atau mencederai standar kebebasan pers yang selama ini sudah
dinilai baik. Meskipun juga, dari saya berbicara dengan pimpinan Dewan Pers
yang lama, itu juga problematik karena selain wartawan dia juga aktivis. Jadi
ada beberapa predikat dalam dirinya. Dia juga demonstran dan seterusnya
terhadap kasus yang dia angkat. Ada penjelasan seperti itu. Tapi ketika dia
menjadi wartawan dan dia menulis tentang kasus yang diangkat, dan kemudian dia
ditangkap karena itu, maka saya kira hal ini mencederai kebebasan pers kita.
Secara global,
reporter lintas batas pada tahun ini mengumumkan bahwa tindak kekerasan
terhadap wartawan masih cukup tinggi, bahkan sampai ada tindak pembunuhan.
Bagaimana peran publik untuk bisa turut menjaga kebebasan pers ini?
Yang pertama tentu saja adalah wartawannya dulu. Apakah
wartawan, ini adalah bagian dari tugas dewan pers juga, memahami hak dan
kewajibannya. Menurut saya, itu yang paling penting karena kadang-kadang banyak
wartawan terutama di daerah yang menulis sesuatu, dipersoalkan oleh
narasumbernya, kemudian dilaporkan ke polisi. Namun si wartawan ini tidak lapor
ke Dewan Pers, padahal sebetulnya dia punya hak melapor kepada Dewan Pers untuk
minta perlindungan kepada Dewan Pers.
Ketika dia dipanggil oleh polisi maka dia bisa tolak. Dia bisa
mengatakan bahwa kasus ini harus dilaporkan dulu ke Dewan Pers. Dewan pers bisa
mengeluarkan surat kepada kantor polisi yang bersangkutan bahwa kami
mendapatkan informasi tentang pemanggilan wartawan, maka si wartawan jangan
dipanggil tapi bawa dulu kasusnya ke Dewan Pers.
Sebetulnya kalau mekanisme itu bisa dijalankan dan
tersosialisasikan dengan baik maka perlindungan wartawan akan jadi lebih bagus.
Permasalahannya adalah tidak ada pengetahuan yang cukup, mungkin juga standar
jurnalistik yang belum memadai, maka itu yang dipakai oleh si narasumber.
Mungkin juga karena ada wartawan yang punya predikat berlapis-lapis, dia
wartawan juga, dia aktivis juga, dia barangkali punya bisnis juga.
Apakah dalam
profesi wartawan itu dimungkinkan atau diperbolehkan?
Sebetulnya secara etik tidak boleh. Itulah pentingnya
wartawan independen, wartawan berpenghasilan cukup supaya dia bisa konsisten
dengan profesinya. Itu karena saat dia agak men-dua dan men-tiga itu, maka dia
akan punya masalah ketika dia berhadapan dengan persoalan-persoalan.
Kalau sebetulnya dia punya profesi yang lain tapi dia bisa
tegaskan bahwa ini adalah kerja jurnalistik sebenarnya masih bisa dilindungi,
tapi secara umum menurut saya mestinya kekerasan kepada wartawan itu tidak
terjadi.
Jadi ada unsur si wartawannya, ada unsur kualitas
jurnalistiknya, tapi juga ada unsur aparat. Ini juga sebuah faktor yang cukup
dominan dimana aparat tidak mengindahkan aturan yang ada. Aturan yang ada itu
seperti ini, kalau ada orang melaporkan satu liputan jurnalistik kepada polisi
kemudian polisi harus membawa ke Dewan Pers karena ada MoU antara Ketua Dewan Pers
dengan kapolri. Jadi harus dibawa dulu ke Dewan Pers.
Kalau polisinya tidak mau mengikuti aturan ini, lalu
akhirnya masuk ke pengadilan sampai P21 ke jaksa, maka Jaksa juga ada MOU. Bila
belum ke Dewan Pers maka akan dikembalikan lagi pada Dewan Pers. Begitu juga
misalnya sampai ke hakim. Jadi selalu dikembalikan ke Dewan Pers.
Di Dewan Pers pengadilannya adalah pengadilan etik.
Kalau salah maka dia harus minta maaf, harus membuat ralat, dan sebagainya.
Kalau keputusan Dewan Pers itu ditolak oleh si
wartawan atau si pengadu maka Dewan Pers akan mengeluarkan Penentuan Pendapat dan Rekomendasi (PPR) yang sifatnya final. Kalau tidak di jalankan maka pengadunya bisa bawa ke
polisi. “Pak, saya sudah ke dewan pers, ini hasilnya tapi dia tidak menjalankannya.” Apabila terjadi seperti itu, maka silakan dilanjutkan secara hukum
pidana. Jadi prosedurnya seperti itu.
Nanti begitu dilaporkan ke
polisi dan masuk ke pengadilan, maka pengadilan akan kembali memanggil ahli dari Dewan Pers untuk menjadi saksi. Duduk perkaranya seperti apa nanti akan dijelaskan. Kalau hal ini bisa dijalankan, wartawannya akan menjadi profesional karena dia tahu prosesnya akan sangat melelahkan, dan narasumber juga tahu bahwa ini urusannya urusan berita sehingga
mengapa harus
dibawa ke unsur pidana. Ancaman itu kemudian datang sekarang dengan wujud KUHP.